Ponpes Keluarkan Santri Langgar Aturan, Erwin: Bukti Nyata Gagalnya Sistem Pendidikan

lra kecamatan muara enim

Muara Enim, Sumatera Selatan
InfoAktual.co.id

Hingga kini, praktik mengembalikan siswa ke orangtua masih terjadi di lembaga pendidikan Pondok Pesantren (Ponpes) di sekitar kita.

Pihak Ponpes mungkin menyebutnya pembinaan, namun ketua Wadah Generasi Anak Bangsa Provinsi Sumsel, D. Erwin Susanto menilainya sebagai bentuk pengusiran terhadap siswa.

“Diksi yang dipakai terdengar lembut, tapi faktanya santri telah diusir dari lingkungan belajar,” jelas Erwin.

Sanksi semestinya dijatuhkan setelah pertimbangan bersama antara pengasuh Ponpes, guru, wali kelas, hingga orangtua santri.

Namun, apakah keputusan itu masih sejalan dengan nilai pendidikan sejati?

Salah satu contohnya datang dari sebuah Pondok Pesantren di Kecamatan Lubai Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.

Beberapa orang santri dikeluarkan karena ketahuan keluar dari lingkungan pondok pesantren di malam hari.

Santri tersebut lalu dikenai sanksi, dan akhirnya dibawa pulang oleh orangtuanya.

Namun, kondisi psikologi salah satu anak yang terpukul dengan sanksi tersebut akhirnya mengganggu keberlanjutan pendidikannya.

Dampaknya, santri tersebut malu dan takut untuk melanjutkan sekolah. Bukan karena tak mampu belajar, tapi karena trauma dengan hukuman.

Lalu, apa manfaat dari hukuman itu?
Apakah ia benar-benar mendidik?
Mengapa hukuman ini terus dipertahankan?

Banyak Ponpes beranggapan bahwa ini bentuk pembelajaran agar santri tidak mengulang kesalahan.

Namun sesungguhnya, itu mencerminkan pragmatisme pendidikan yang dangkal, karena pondok pesantren bukan lembaga penghukuman, tetapi ruang pembinaan karakter.

Mengutip Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah upaya menuntun segala kodrat anak.

Fungsi Ponpes bukan sekadar tempatmengajar apalagi berbisnis, tapi membimbing hingga santri tumbuh jadi manusia utuh.

Hukuman, jika dipakai, harus mendidik. Karena, hukuman dan ganjaran hanyalah alat yang tujuannya harus mendidik, bukan membalas.

“Hukuman yang mendidik harus memenuhi tiga syarat: adil, segera, dan sepadan. Jika satu saja tak terpenuhi, maka itu bukan lagi lembaga pendidikan, melainkan lembaga penghakiman,” tegas Erwin.

Lembaga pendidikan sebaiknya menciptakan budaya disiplin yang berbasis empati dan tanggung jawab.

Ketika santri bersalah, sudah sepatutnya diminta mengakui, lalu dibimbing memperbaiki diri.
Santri harus merasa dipeluk, bukan dibuang. Mereka harus didekap, bukan dijauhi.

Terlalu banyak anak bangsa yang kehilangan hak karena hukuman yang keliru.

Dunia pendidikan tak boleh menjadi ruang yang membuat anak takut datang ke tempat belajar.

Alih-alih membangun karakter, hukuman yang salah justru berpotensi menghancurkan masa depan anak-anak kita.

MJ Langeveld, filsuf pendidikan, menyebut pendidikan sebagai “upaya membimbing manusia yang belum dewasa menuju kedewasaan.”

Lalu bagaimana jika manusia dewasa itu justru gagal membimbing, dan malah menghukum secara semena-mena?

Jika mengeluarkan santri masih dianggap solusi, maka pondok pesantren telah gagal mengemban tugas mulianya.

Gagal sebagai pendidik. Gagal sebagai pembimbing. Dan gagal sebagai rumah kedua bagi anak-anak bangsa.

Sudah saatnya Kementerian Agama mengevaluasi sistem pendidikan di Pondok Pesantren, dan mengaudit penggunaan dana BOS dan hibah dari semua sumber yang diterima.

Penulis: D. Erwin Susanto
(Ketua Wadah Generasi Anak Bangsa Prov. Sumatera Selatan)