Deolipa Yumara : Pelecehan oleh Dokter, Etika Dilanggar, Status Profesi Harus Dicabut

infoaktual dki jakarta a3e8098f 0a95 4c68 8db8 587dde8b8fa6

‎Jakarta
InfoAktual.co.id

Dugaan pelecehan seksual yang dilakukan dokter terhadap pasien kembali mencuat ke publik.

Praktik yang semestinya menjunjung etika justru tercemar oleh penyalahgunaan kekuasaan atas tubuh pasien.

‎Kasus ini menjadi pengingat pentingnya profesionalisme dalam dunia medis. Profesi dokter bersentuhan langsung dengan tubuh manusia, sehingga etika menjadi fondasi utama.

‎Pengacara sekaligus pengamat etika hukum dan profesi, Deolipa Yumara, menegaskan pentingnya netralitas dalam profesi kedokteran.

Ia mengatakan bahwa dokter adalah individu yang harus menjaga martabatnya secara mutlak.

‎“Dokter wajib netral dari nafsu, karena dia memeriksa laki-laki dan perempuan,” kata Deolipa, Jumat, 19 April 2025.

‎Menurutnya, dokter yang terbukti melakukan pelecehan seksual seharusnya tidak lagi diberi ruang praktik.

“Kalau tidak mampu netral, jangan jadi dokter. Cari profesi lain,” tegasnya.

‎Deolipa menjelaskan bahwa tindakan pelecehan di ruang praktik tak hanya melanggar etika profesi. Lebih jauh, hal itu masuk ranah pidana dan harus diproses secara hukum.

‎“Pelecehan, apalagi pemerkosaan, masuk kategori pidana. Tidak cukup disanksi etik,” ujarnya.

‎Ia menekankan bahwa profesi dokter memiliki risiko penyalahgunaan yang tinggi. Oleh karena itu, pengawasan mesti dilakukan ketat dan berjenjang oleh organisasi profesi.

‎Menurut Deolipa, interaksi fisik dalam pemeriksaan medis adalah titik krusial. Di situlah integritas dokter diuji secara langsung.

“Kalau dokter tidak bisa membedakan profesionalisme dan hasrat pribadi, berbahaya,” kata dia.

‎Deolipa menambahkan bahwa dokter perempuan dan laki-laki sama-sama memeriksa lawan jenis. Karena itu, penting bagi dokter untuk membebaskan diri dari bias dan kecenderungan pribadi.

‎”Kalau masih tergoda nafsu, jangan praktik. Bahaya buat pasien,” ujarnya.

‎Terkait pembuktian, Deolipa menyatakan bahwa kini banyak ruang praktik yang memiliki kamera pengawas. Hal ini bisa menjadi alat bukti yang kuat dalam proses hukum.

‎“Ada CCTV. Dari situ bisa terlihat, apakah tindakan dokter melewati batas atau tidak,” ucapnya.

‎Ia menyebut bahwa pasien juga memiliki peran penting dalam proses pelaporan. Korban harus memahami apakah tindak dokter masih dalam batas prosedur atau justru menyimpang.

‎“Kalau korban sadar dilecehkan, dan bisa membuktikan tindakan berlebihan, itu cukup kuat,” katanya.

‎Deolipa menyoroti peran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam mengawasi anggotanya. Menurutnya, IDI tidak boleh pasif terhadap laporan masyarakat.

‎“IDI harus berani mencabut izin praktik kalau terbukti melanggar etik,” ujar dia.

‎Ia juga mendesak agar proses pelaporan oleh korban dibuat lebih mudah dan aman.

“Jangan biarkan korban merasa takut atau malu. Negara harus hadir,” kata dia.

‎Pelecehan oleh dokter bukan persoalan sepele. Ini menyangkut kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan.

‎“Kalau ini dibiarkan, pasien akan terus menjadi korban tanpa perlindungan,” ucap Deolipa.

‎Ia mengimbau masyarakat untuk lebih kritis dalam memilih layanan medis.

“Jangan ragu melapor jika merasa dilecehkan. Itu hak setiap pasien,” tutupnya. (Put)