Jakarta (Infoaktual.co.id) – Nama Heni Purnamasari atau Heni Sagara kembali menjadi perbincangan publik. Apoteker sekaligus pengusaha skincare ini membantah tuduhan rekaman suara di sidang Nikita Mirzani dan isu lama yang menyeretnya sebagai “mafia skincare.”
Pemilik pabrik skincare dengan seluruh produk berizin BPOM ini menegaskan bahwa dirinya bekerja sesuai aturan. “Saya bukan mafia skincare. Saya apoteker yang bekerja mengikuti regulasi,” kata Heni di Jakarta, Senin (11/8).
Heni berasal dari Sumedang, Jawa Barat. Ia dikenal karena keahliannya meracik skincare dengan standar keamanan ketat. Bisnis yang ia bangun bertahun-tahun memberi pekerjaan bagi ribuan orang.
Namun, reputasinya terguncang tahun lalu. Dalam podcast yang menghadirkan dr. Oky Pratama dan dr. Richard Lee, istilah “mafia skincare” dilontarkan tanpa bukti. Nama Heni disebut-sebut dan memicu stigma di media sosial.
“Semua kerja keras saya nyaris hancur akibat stigma tanpa dasar,” ujarnya.
Isu Rekaman Sidang
Belum selesai menghadapi tuduhan lama, Heni kembali dihantam isu baru. Dalam sidang Nikita Mirzani melawan Reza Gladys, beredar rekaman suara yang diklaim berisi pengaturan aparat.
Tanpa verifikasi, beberapa pihak menuding suara itu milik Heni. Serangan di media sosial pun membanjiri akun pribadinya.
Situasi berubah ketika Lucinta Luna mengunggah rekaman tersebut di Instagram. Ia menyebut pemilik suara itu bukan Heni. Nikita Mirzani mengonfirmasi pernyataan itu dengan mengunggah ulang.
“Fakta ini membuktikan tuduhan terhadap saya salah alamat,” kata Heni. “Semoga ini menjadi pelajaran untuk selalu tabayyun sebelum menyebarkan kabar.”
Produk Resmi dan Standar BPOM
Heni menegaskan seluruh produknya telah lolos uji dan memiliki izin BPOM. Pabriknya beroperasi sesuai standar pemerintah.
“Nama saya dicatut dan reputasi saya diserang. Saya percaya kebenaran akan menemukan jalannya,” tegasnya.
Serangan Digital Beruntun
Heni mengaku sering menjadi target serangan digital. Pada Oktober 2024, ia menjadi korban hoaks kematian. Kabar palsu itu membuat keluarganya panik sebelum terbukti tidak benar.
April 2025, situs resmi Marwah—brand terkait bisnisnya—dibajak dan dipalsukan. Ia juga mengalami doxing, di mana data pribadinya disebar ke publik.
“Ancaman ini bukan hanya soal bisnis, tapi juga keamanan keluarga saya,” ujar Heni.
Langkah Hukum
Kuasa hukum Heni memastikan akan menempuh jalur hukum. Targetnya adalah pihak yang menyebarkan fitnah, hoaks, melakukan peretasan, dan doxing.
“Kami sudah mengumpulkan bukti untuk melaporkan pihak-pihak terkait,” kata kuasa hukum Heni, Senin (11/8).
Heni mengajak masyarakat lebih bijak menerima informasi. “Di era banjir informasi, kabar bohong bisa lebih cepat menyebar daripada klarifikasi,” ujarnya.
Ia mengingatkan prinsip tabayyun bukan hanya ajaran agama. Menurutnya, tabayyun adalah pedoman moral agar masyarakat tidak merusak nama baik orang yang tak bersalah.
Dampak Tuduhan Publik
Heni mengaku dampak tuduhan itu besar. Penjualan menurun, kerja sama bisnis tertunda, dan mental karyawan terganggu.
“Serangan seperti ini merusak ekosistem usaha,” kata Heni. “Banyak orang bergantung pada kelangsungan pabrik ini.”
Pesan untuk Publik
Heni meminta publik menahan diri sebelum menyebarkan informasi yang belum terverifikasi. Ia mengajak media dan pengguna media sosial lebih mengedepankan akurasi.
“Kebenaran tidak akan kalah oleh kebohongan, tapi prosesnya melelahkan,” ucapnya.
Heni juga berharap kasusnya menjadi pengingat bahwa reputasi seseorang sangat rentan di era digital. “Sekali nama rusak, sulit memulihkannya, meski bukti membantah tuduhan,” katanya.
Kasus yang menimpa Heni Sagara menunjukkan betapa cepatnya tuduhan menyebar di media sosial. Klarifikasi sering kali datang terlambat dibanding hoaks.
Heni kini fokus memulihkan reputasi dan menjalankan bisnis skincare sesuai standar BPOM. Sementara itu, proses hukum terhadap pihak yang menyebarkan fitnah masih berjalan.
“Yang saya perjuangkan bukan hanya nama saya, tapi hak semua orang untuk terlindungi dari fitnah,” tutup Heni. (Put)