Ambon, Maluku
InfoAktual.co.id
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran telah memicu perdebatan sengit terkait dampaknya terhadap sektor pendidikan dan keselarasan dengan konstitusi Indonesia.
Kebijakan ini, yang mulai berlaku pada 22 Januari 2025, mengarahkan pemangkasan anggaran di berbagai sektor, termasuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ketenagakerjaan.
Salah satu sektor yang paling terdampak adalah pendidikan.
Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, telah mengurangi alokasi anggaran untuk berbagai program beasiswa.
Beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP Kuliah), misalnya, mengalami pengurangan pagu sebesar Rp1,31 triliun dari anggaran awal Rp14,698 triliun.
Secara keseluruhan, kementerian ini menghadapi pemangkasan anggaran sebesar Rp22,5 triliun dari total Rp57,6 triliun.
Muhammad Loilatu, Ketua Umum KORKOM IMM Universitas Darussalam (Unidar) Ambon, menyatakan keprihatinannya.
“Pemangkasan ini mengancam keberlanjutan pendidikan tinggi bagi ratusan ribu mahasiswa.” Data menunjukkan sekitar 663.821 penerima KIP Kuliah terancam putus kuliah akibat pengurangan anggaran ini.
Kebijakan efisiensi anggaran ini juga menuai kritik karena dianggap bertentangan dengan amanat konstitusi.
Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945 menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.
Pemangkasan anggaran pendidikan ini dipandang sebagai pelanggaran terhadap ketentuan tersebut.
Muhammad Loilatu menegaskan, “Pemotongan anggaran pendidikan ini jelas tidak sejalan dengan amanat konstitusi yang mengharuskan prioritas pada sektor pendidikan.”
Salah satu alasan di balik penerbitan Inpres No. 1 Tahun 2025 adalah untuk mengalihkan dana guna mendanai program makan siang gratis bagi siswa, sebuah janji kampanye Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming pada pemilu 2024.
Namun, langkah ini menuai kritik karena dianggap mengorbankan sektor-sektor vital lainnya.
“Program makan siang gratis seharusnya tidak mengorbankan kualitas pendidikan dan kesejahteraan tenaga pendidik,” ujar Loilatu.
Selain dampak pada pendidikan, kebijakan efisiensi anggaran ini juga berimbas pada tenaga kerja honorer di berbagai instansi pemerintah.
Pemangkasan alokasi anggaran di berbagai sektor menyebabkan pemutusan hubungan kerja bagi tenaga honorer, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Muhammad Loilatu menambahkan, “Pemangkasan anggaran ini berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan menambah beban sosial ekonomi masyarakat.”
Dalam konteks hukum, penerbitan Inpres harus selaras dengan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 Ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011.
Prinsip “lex superior derogate legi inferiori” menegaskan bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, Inpres sebagai peraturan presiden harus sesuai dengan amanat UUD 1945.
Kebijakan efisiensi anggaran melalui Inpres No. 1 Tahun 2025 menimbulkan dilema antara memenuhi janji politik dan menjaga komitmen konstitusional terhadap sektor-sektor vital seperti pendidikan.
Pemerintah diharapkan dapat meninjau kembali kebijakan ini agar tidak mengorbankan hak-hak dasar masyarakat dan tetap mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. (Talib Loilatu)