MALUKU – INFOAKTUAL.CO.ID |Di tengah lonjakan harga komoditas unggulan seperti cengkeh dan pala di pasar nasional, nasib petani di daerah-daerah sentra produksi, khususnya di wilayah Maluku, justru masih memprihatinkan. Alih-alih menikmati kesejahteraan, mereka justru terjebak dalam pusaran ketimpangan dan dominasi tengkulak.
Hal ini disoroti langsung oleh Ketua Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Cabang Seram Bagian Timur, Nyong Ari Rumagutawan.
Menurut Ari, meskipun harga cengkeh saat ini mencapai Rp135.000 per kilogram dan pala menyentuh angka Rp100.000 per kilogram di tingkat pasar nasional, petani lokal hanya menerima antara Rp85.000 hingga Rp90.000 untuk cengkeh, dan sekitar Rp65.000 untuk pala.
Selisih harga yang begitu besar ini mencerminkan lemahnya posisi tawar petani dalam rantai distribusi komoditas.
“Kenaikan harga yang digaungkan di media dan pasar nasional nyatanya tidak berdampak langsung pada kesejahteraan petani. Mereka masih dibeli dengan harga rendah oleh tengkulak yang memonopoli jalur distribusi. Ini ketimpangan yang sudah berlangsung lama, namun belum juga ada solusi nyata dari pemerintah,” tegas Ari saat ditemui Awak Media infoaktual.co.id, minggu 3/8/2025.
Ia menambahkan, para petani juga dibebani dengan biaya produksi yang terus meningkat, mulai dari pupuk, perawatan tanaman, hingga ongkos panen dan transportasi. Di sisi lain, akses mereka ke pasar langsung sangat terbatas.
“Petani bukan hanya lemah secara ekonomi, tetapi juga secara struktural. Negara seharusnya hadir bukan sekadar sebagai pengamat harga, tetapi sebagai pelindung dan pemberi jaminan atas kerja keras mereka,” lanjutnya.
SEMMI SBT mendorong pemerintah daerah maupun pusat untuk segera mengambil langkah konkret. Salah satunya dengan membentuk koperasi petani atau Badan Usaha Milik Petani (BUMP) yang dapat membeli hasil panen secara langsung dari petani dengan harga yang layak, sekaligus menyediakan subsidi input produksi.
“Sudah saatnya ada kebijakan afirmatif. Petani jangan terus-menerus dijadikan korban dalam sistem ekonomi yang timpang. Bila tidak ada keberpihakan nyata, maka mereka hanya akan menjadi penonton dalam permainan harga komoditas yang justru menjadi tulang punggung hidup mereka,” tutup Ari dengan nada prihatin.
Pewarta: (Talib)
editor: (DS)