Warga Tanjung Aur Patok Tanah, Sengketa Lahan PT SMS Kian Memanas

Warga desa Tanjung Aur patok tanah sengketa di luar Hak Guna Usaha (HGU) PT SMS.
Warga desa Tanjung Aur patok tanah sengketa di luar Hak Guna Usaha (HGU) PT SMS.

Lahat, Sumatera Selatan
InfoAktual.co.id

Sengketa lahan antara Warga Desa Tanjung Aur, Kecamatan Kikim Tengah, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan dengan PT SMS kian memanas.

Selasa (2/9/2025), mereka mematok tanah di lahan yang diklaim sebagai bekas plasma dan berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) PT SMS.

Ratusan warga turun ke lapangan dengan membawa patok kayu dan alat sederhana. Mereka menancapkan patok di sejumlah titik lahan sebagai bentuk perlawanan terhadap perusahaan.

Menurut warga, lahan tersebut sudah menjadi hak masyarakat jauh sebelum perusahaan berdiri.

Salah seorang warga, Paikar, menegaskan bahwa masyarakat tidak akan tinggal diam ketika hak mereka dirampas.

“Kami akan mematok lahan kami. Tanah ini dulunya adalah plasma dan berada di luar HGU PT SMS. Bahkan lahan ini sudah diserahkan perusahaan sebelumnya, sebelum PT SMS ada di sini. Kami akan mempertahankan hak-hak kami,” kata Paikar di lokasi aksi.

Warga menyebut konflik ini sudah berlangsung lama. Mereka menilai perusahaan memasukkan lahan plasma ke dalam HGU tanpa persetujuan masyarakat. Akibatnya, warga kehilangan akses untuk mengelola tanah yang seharusnya bisa menjadi sumber ekonomi keluarga.

Warga mengungkapkan bahwa sengketa bermula dari ketidakjelasan batas HGU perusahaan. Menurut mereka, PT SMS tidak transparan dalam memberikan informasi mengenai batas konsesi dan pembagian plasma.

Padahal, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan mewajibkan perusahaan perkebunan menyediakan kebun plasma minimal 20 persen dari total luas HGU.

Selain itu, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 menegaskan bahwa penguasaan tanah harus memperhatikan asas keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Warga menilai ketidakpatuhan perusahaan terhadap aturan itu menjadi sumber utama konflik. Mereka pun memilih aksi nyata dengan mematok lahan sebagai bentuk klaim.

Dampak Sosial dari Konflik Lahan

Persoalan sengketa lahan plasma tidak hanya berdampak pada kepemilikan tanah. Warga Desa Tanjung Aur mengaku kehilangan sumber penghasilan karena tidak bisa mengelola lahan. Kondisi ini menimbulkan keresahan sosial di tengah masyarakat.

Beberapa warga bahkan khawatir jika konflik dibiarkan berlarut, bisa menimbulkan gesekan antara masyarakat dan pihak perusahaan. Mereka berharap masalah dapat diselesaikan secara damai dengan mengedepankan keadilan.

Warga juga mendesak Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pemerintah daerah Kabupaten Lahat segera turun tangan menyelesaikan sengketa. Mereka menilai kehadiran pemerintah penting untuk memberikan kepastian hukum.

“Pemerintah harus hadir. Jangan biarkan hak masyarakat tumpang tindih dengan kepentingan perusahaan. Kami butuh keadilan, bukan janji,” tegas Paikar.

Mereka meminta agar pemerintah memfasilitasi dialog terbuka antara perusahaan dan masyarakat. Menurut mereka, transparansi terkait batas HGU dan pembagian lahan plasma adalah kunci penyelesaian konflik.

Harapan Warga Tanjung Aur

Warga Tanjung Aur berharap aksi pemasangan patok bisa menjadi pesan kuat bagi perusahaan dan pemerintah. Mereka ingin hak atas lahan plasma diakui dan dikembalikan sesuai aturan hukum yang berlaku.

Selain itu, masyarakat juga menekankan pentingnya peran perusahaan dalam membangun hubungan harmonis dengan warga sekitar. Tanpa keterbukaan dan keadilan, konflik lahan dikhawatirkan akan terus berulang.

“Kami tidak menolak perusahaan. Kami hanya ingin hak kami dipenuhi sesuai aturan. Plasma itu hak masyarakat, bukan milik perusahaan,” tutup Paikar.

Aksi warga Tanjung Aur patok tanah menunjukkan betapa seriusnya persoalan sengketa lahan plasma di Kabupaten Lahat. Konflik yang telah berlangsung lama ini memerlukan penyelesaian segera. Pemerintah dan BPN diminta hadir sebagai penengah agar hak masyarakat terjamin dan hubungan dengan perusahaan tidak terus memburuk. (Fauzi Azwar)