” Justice and power must be brought together, so that whatever is just may be powerful, and whatever is powerful may be just. ” (Blaise Pascal)
PADA satu titik, publik akan sampai pada satu kesadaran bahwa kekuasaan yang terlalu jauh melenceng dari keadilan bukanlah kekuasaan yang layak dan pantas untuk didukung.
Tidak berbeda dengan suara-suara mahasiswa yang dalam beberapa tahun belakangan kerapkali diabaikan, kini mulai dipahami oleh publik secara jelas, dan kemudian mendapatkan banyak dukungan.
Apa yang dilakukan mahasiswa dalam kurun beberapa waktu belakangan, adalah upaya menyatukan apa yang disebut oleh Blaise Pascal di atas “keadilan dan kekuasaan”.
Toh, dalam kacamata zaman semodern hari ini, kekuasaan yang tidak adil sudah semestinya dipertanyakan.
Jika kekuasaan tak merespons pertanyaan dan kritisisme tersebut dengan baik, maka sudah selayaknya digugat dan bahkan didobrak, lalu didorong kembali agar kekuasaan dan keadilan bisa berjalan beriringan.
Pada konteks inilah gerakan mahasiswa harus dilihat dan dipahami.
Mereka telah berjuang sekuat tenaga selama ini untuk mendorong kekuasaan kembali kepada aras keadilan, tapi selama itu pula mereka dipojokkan dan dinyinyiri, bahkan diakali oleh senior-senior mereka di berbagai institusi negara yang notabene adalah mantan mahasiswa juga.
“We didn’t invent resistance, we didn’t discover injustice. The only thing that is different about this movement is our ability to story tell it and use the power of storytelling as actual power.” ucap DeRay Mckesson, aktifis Black Lives Matter, beberapa tahun lalu.